Our Love (chapter 3) #ffyaoi #yoonkook

CHAPTER  3.0

“Mengakuimu bagaimana?”
“H-hyung mengakui dan mengikatku sebagai milik hyung. Tapi aku tidak akan berkomentar kalau hyung melakukan h-hal yang menyenangkan dengan orang lain."        
    
Yoongi  benar-benar tidak habis pikir dengan seorang Jeon Jungkook dihadapannya ini. Setelah memergokinya dengan Jimin, lalu menguntit dan mengirim surat padanya, sekarang bocah itu bilang ingin Yoongi mengakuinya sebagai milik Yoongi? Oh Tuhan. Cobaan macam apa ini batin si namja berambut mint tersebut. Lagipula, hubungan macam apa itu?

“Aku tidak bisa, Jeon. Ini terlalu mendadak.” Seumur hidup, baru kali ini—ah, tidak. Ini kedua kalinya ada uke yang menyatakan perasaannya pada Yoongi. 

“Aku tahu ini mendadak. Tapi apa jawaban hyung bisa berubah nanti?” Tanya Jungkook penuh harap.

‘Kenapa mereka mirip sekali.’  Yoongi malah membatin. Bayangan seseorang seketika menyeruak dalam benaknya.

“Mungkin? Entahlah.”

“Hyung— jangan menggantungku seperti jemuran dong.”

“Siapa yang menggantungmu?”

Seketika, rasanya Jungkook ingin menyiram Yoongi dengan kopi dingin miliknya.

“Lupakan. Apa boleh aku meminta satu hal lagi?”

“Apa itu?”

“H-hyung tolong manfaatkan aku? Aku penasaran, hal yang hyung lakukan dengan Jimin-hyung.” Sekarang giliran Yoongi yang kehabisan kata-kata. Hei, ia tidak mau beasiswanya dicabut karena meniduri anak pemilik universitasnya.

"Tidak, Jeon. Kau pasti sudah gila."

"Aku gila karenamu, hyung." Jungkook tertawa hambar. "Kau harus tahu aku menahan sakit karena melihatmu terus 'bermain' dengan orang berbeda-beda. Dan kupikir aku tidak punya kesempatan karena aku tidak yakin bisa membuatmu puas."

"Jungkook, kau yakin mau kumanfaatkan?"

"Kalau tidak yakin, aku tidak mungkin muncul dihadapan hyung seperti ini. Lagipula― aku sudah menyadari jika aku.. tidak hanya menyukai perempuan."

‘Tuan Jeon dimana pun kau berada. Maafkan aku karena membuat anakmu menjadi seperti ini.’ Batin Yoongi setengah meringis. Harusnya ia tidak ceroboh.

"Jangan bodoh. Aku tahu rasanya sakit jika dimanfaatkan."

Jungkook menggeleng. "Tidak apa, hyung. Mungkin akan sedikit sakit, tapi tidak apa. Kalau aku bisa menahannya, semuanya akan baik-baik saja."

Helaan napas terdengar dari yang lebih tua. Kepalanya pusing karena kejutan bertubi-tubi dari seorang Jeon Jungkook, bocah yang duduk dihadapannya ini. Sembari memijat pelipisnya,  ia lalu melirik jam yang ada di sana.  "Terserah. Jeon, aku harus pulang sekarang."

"S-sekarang?"

"Iya. Ada yang harus kuselesaikan di rumah." Yoongi lalu mengambil sobekan kecil dari note yang dibawanya dan menulis sesuatu di sana, mengabaikan raut wajah kecewa namja bergigi kelinci yang duduk diseberangnya.

"Akan kupikirkan permintaanmu nanti. Ini beberapa nomor dan juga alamat emailku jika kau butuh. Cepat pulang dan jadilah anak baik. Sampai jumpa." Setelah memberikan kertas sobekan itu, Yoongi beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Jungkook yang masih berdiam diri di sana.
.
.
"Apa ia marah padaku?" Gumam Jungkook sembari menatap kertas ditangannya dengan tatapan sendu. Ia lalu menggeleng, "Tidak! Tidak! Yoongi-hyung hanya sibuk. Ya.. hanya itu." Ucapnya meyakinkan sekaligus menghibur diri.
Setelahnya, Jungkook pun beranjak keluar dari cafe setelah membayar pesanannya.

***

Di rumahnya― ah, atau lebih tepatnya di studio miliknya, Yoongi tidak bisa fokus mengerjakan lagu yang ia buat. Karena Jungkook, ia harus mengingat kembali kenangan pahit. Arah pandangan namja itu pun berubah, tertuju pada satu foto yang terbingkai rapi di atas meja kerjanya. Tangan Yoongi terulur mengambil foto itu, menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan. Entah marah, sedih dan juga kehilangan.

"Dia mirip sekali denganmu. Apa aku harus membuka hati lagi, Hoseok?" Gumam Yoongi pilu.

      Bahkan setelah lima tahun kematian Hoseok, namja itu belum pernah menjalin hubungan lagi. Hatinya bagai terkunci. Daripada menjalin hubungan, Yoongi lebih memilih menjadi seperti sekarang. Melakukan apa saja sebebasnya tanpa terikat. Ia belum siap. Kepergian Hoseok terlalu meninggalkan bekas luka mendalam untuknya. Yoongi kemudian memejamkan mata, membiarkan setetes air mengalir di pipinya.

"Tapi aku tidak ingin menyesal lagi. Akan kucoba melupakanmu dan kembali membuka hatiku untuk si bocah Jeon Jungkook." Ia sendiri tidak yakin, tapi apa salahnya mencoba?

"Maafkan aku, Hoseok. Jika saja aku menyadarinya lebih cepat, menerimamu lebih cepat.. Apa kau tidak akan meninggalkanku?" Ujarnya lagi dengan nada sedih yang sangat kentara.

Sialan. Yoongi benci perasaan ini. Perasaan bersalah dan sakit yang sangat menyesakkan rongga dadanya. Ia lalu kembali membuka matanya yang sedikit berair dan kembali menyimpan foto itu ke tempatnya semula.

"Kalian sama-sama keras kepala. Saking keras kepalanya, bahkan seorang Min Yoongi pun mau tidak mau jatuh pada kalian." Kali ini namja berambut mint itu tersenyum.

***

Setelahnya, Jungkook dan Yoongi semakin sering bertemu. Dimana ada Yoongi, maka si namja bergigi kelinci itu akan hadir menemaninya. Yoongi tidak keberatan, karena selama ini ia juga merasa kesepian. Ia sulit bergaul. Meski sudah mencoba untuk membuka diri, hanya segelintir orang yang tahan berteman dengannya. Kebanyakan orang menilai Yoongi terlalu cuek dan menyeramkan.

Jungkook sendiri tentu merasa sangat senang. Usahanya tidak sia-sia. Lagipula, menurutnya Yoongi sangat menyenangkan jika sudah mengenalnya lebih jauh. Ia bahagia keputusannya untuk muncul dihadapan Yoongi sebulan lalu tidak salah. Dan ia juga semakin yakin pada perasaanya sendiri.

"Hyung, boleh aku bertanya satu hal sebelum menenggelamkan diri?"

"Mau bertanya apa, Kookie?"

"A-apa aku milikmu sekarang?" Tanya Jungkook dengan pipi merona.
Yoongi tersenyum dan lantas mengecup bibir Jungkook lalu menatap kedua mata bulatnya.

"Iya. Kau milikku, Jeon Jungkook."


Fin.

Komentar

Bacaan Populer!